Roadrunner nama burung yang berasal dari Meksiko, bagi kalian mungkin pernah mendengarnya melalui serial kartun televisi yang digambarkan sebagai burung yang berlari sangat cepat. Mungkin itulah yang menjadi salah satu inspirasi pawang saat akan mengambil julukan yang dialamatkan pada armada yang memiliki body Zeppelin. Hanya bedanya kalau di kartun burung tersebut memiliki sifat licik sering digambarkan mengelabuhi serigala yang akan memangsanya, namun bila melekat pada sebuah armada bukan itu juga maksudnya. Sebenarnya lagi pastinya juga bukan bermaksud ingin menggambarkan kebanggaan akan suatu kecepatan, karena apalah artinya speed, la wong juga bukan balapan, yang sebenarnya ada juga orang memang benar-benar menyukainya dalam diam.
Kembali di jalur dua arah, motor kupacu sedikit lebih kencang agar sampai di agen tepat waktu, beberapa kali hp di kantong bergetar, tidak lain tidak bukan adalah panggilan dari mas agen yang mengabarkan armada sudah sampai teras dengan menggunakan bahasa jawa halus sebagaimana tata krama dalam bahasa jawa untuk orang yang belum kita kenal, yaitu menggunakan boso kromo alus. “bis e mpun dugiTeras, cepet ten agen”. Itulah sms yang sempat kubaca setelah turun dari motor. Sesampai di agen, “Telpun ga di angkat?” aku cuman nyengir, “la lagi motoran”. Beliau pun paham. Pasrah nanti dapat bus dengna nomor lambung berapa, karena bebrapa kali naik dari agen sini tidak pernah dapet sopir yang “ses”. Ditulisnya angka 136 di lembaran tiket, prediksi saya adalah nanti pasti bobomania, karena pengalaman sebelumnya memang demikian, terutama sopir tengah.
Jam setengah empat bus melewati jalan raya dua arah yang lengang, empat lajur jalan benar-benar dimanfaatkan, miyak-miyak tapi hanya sekali saja, karena memang kondisinya tidak memungkinkan.
Pembawaan sopir pertama yang lincah membawa armada sampai di Krapyak sekitar pukul 6 sore walau duduk di seat kedua, saya dapat merasakan bahwa selama di Pantura, 136 aktif mencari jalan, tidak menunggu kosong baru lewat. Pindah ke kiri ke kanan, namun tetap memperhatikan spion, walau lajunya lincah seperti itu, tapi tetap dilakukan dengan penuh perhitungan dan kesabaran, klakson digunakan sebagai pemberi peringatan, bukan sebagai pelampiasan.
Jam 7 malam sampailah di rumah makan menara kudus dan bertemulah dengan tim selatan, karena tim utara memang belum saatnya tiba disini. Ritual wajib segera dilaksanakan penglaju tersebut, sholat, toilet, makan.
Tibalah saatnya 136 persiapan berangkat, panggilan melalui speaker membuat orang-orang yang tadinya turun, kembali menuju armada. Saya pun juga kembali duduk di seat nomor dua dari depan, dan tidak ada yang bisa diharapkan hadirnya opera van tura, karena pengalaman yang lalu demikian. Bahkan saat sopir naik musik bernuansa slow diputarnya.
Keluar dari rumah makan dipandu satpam di jalan untuk memberikan aba-aba agar kendaraan bisa lewat. Ternyata perkiraanku malam ini meleset jauh. Sopir tengah lebih lincah daripada yang kuduga. Lincah dalam arti cepat, bukan ngebut, atau dengan emosi, tapi tetap sabar. Tidak menyalahkan siapa-siapa di jalan, hanya berusaha sekuat tenaga, ada truk lambat ya sabar, ada celah ya nyalip, sopir tengah ini bukanlah tipikal sopir-sopir yang manja, dikit dikit nyalahin motor, dikit-dikit nyalahin truk, semua serba salah. Benar-benar mantab. bus bus lain yang dijalankan dengan malas di overtakenya satu persatu, LP, GM, lewat, namun satu yang seru saat di depan ada Santoso yang berjulukan Histeria.
Walau keliatannya bus tua, tapi lajunya tak kalah, wus wus, seset kiri-seset kanan, namun tetap memiliki kesabaran disaat ada motor di depan atau ada truk yang berjalan pelan di depan. Sopir 136 yang cenderung anti convoy mencoba mencari celah dengan penuh perhitungan dan kesabaran, tidak grusa grusu, namun tetap anggun dalam menggoyang ke kiri dan ke kanan. Sedangkan pemandangan di depan masih terus berkutat dengan si Santoso Histeria yang mencoba berlari. 136 yang memiliki dapur pacu RK8 ini dengan mudahnya nempel-nempel Histeria, sebenarnya kalau dalam trek lurus sebenarnya Histeria ini bisa di overtake dengan mudah, namun 136 tetap sabar mengikuti liukan Histeria. Malam itu 136 seperti menemukan jiwanya. Sabar, tangkas, cermat, tak membuang-buang waktu. Sayangnya hal ini sering disalah kaprahi orang dengan menganggap ini sebuah pengejaran, pembalasan, balapan, dorong, sebuah analogi yang menurut saya kurang tepat yang ujungnya menimbulkan sesuatu hal yang negatif, padahal sebenarnya bukan itu.
Jalur yang naik turun, berbelok ke kiri dan ke kanan antara Batang Pekalongan, memang harus menuntuk para sopir malam hati-hati. Terutama saat berada dibelakang body yang cukup lebar, apakah didepan ada becak? Apakah di depan ada motor yang berjalan pelan, ataukah ada pejalan kaki, atau ada sepeda pancal yang lagi berjalan, semua itu haruslah dimanajemen oleh punggawa punggawa malam itu.
Akhirnya Histeria yang berlari terpaksa harus mengalah disaat 136 tepat nempel di belakangnya dari lajur kiri, 136 memang dari tadi sudah menempel Histeria, dan tentu saja dengan kondisi psikologis di jalan, Histeria lalu ngerem memberikan jalan. Sebenarnya si Histeria ini masih berada di depan 136 beberapa centimeter, boleh saja si Histeria langsung ambil kiri karena di lajur kanan ada truk, namun melihat kondisi spion dia yang terlihat sekali dim dim an 136 yang meminta jalan, akhirnya dikasihlah 136 jalan. Tanpa menyia nyiakan kesempatan 136 menyalip Histeria. Hal seperti ini kadang ada dua pandangan bagi para oknum maniak, maniak 136 mengatakan, wiih hebat bisa nyalip ini, oknum maniak STS, Haryanto bisa lewat karena dikasih jalan. Ini kalau saya posting video kurang lebih mereka pasti komentar seperti itu, karena mereka gak ngerti, taunya ini nyalip ini ini disalip ini.
Yang paling gak paslagi, ada dua bus memang lagi convoy beda po, trus ada yang komentar bis ini ga bisa nyalip ini, yaelah nak nak, pemahaman oknum maniak yang masih tidak tepat.
Overa Pantura hanya berhenti sampai Brebes saja, karena perjalanan selanjutnya dilalui lewat tol yang buat saya kurang menarik dan saya memilih untuk tidur.
Read More...