Sunday, March 22, 2015

EKA Surabaya Semarang

Jumat Sore sampai di Terminal Bungurasih sekitar jam setengah delapan. Ternyata di Shelter pemberangkatan sudah ramai calon penumpang, lebih rame daripada hari biasanya karena hari Sabtu adalah hari libur Nyepi. Bus yang baru datang baik patas maupun bumel langsung diserbu penumpang. Dengan kondisi seperti ini, sulit untuk mendapat tempat duduk, apalagi saya membawa barang yang harus dimasukkan ke dalam bagasi.
Sudah setengah jam dari bus pertama datang, bus yang saya tunggu belum juga tiba. Saya putuskan pergi ke pool EKA di Poolnya dengan naik ojek, tarif ojek yang ditawarkan 30.000 malam hari.


Sampai di agen ternyata sudah terpakir EKA tujuan Semarang, saya langsung naik, karena memang diperbolehkan langsung, namun yang tujuan Solo Yogya harus memesan dulu nomor antrian di dalam.

Jam 21.00 bus diberangkatkan, entah lewat mana saya tidah hapal jalannya, tembus di Mojokerto, karena jalur yang biasa dilalui masih macet, imbas libur Nyepi hari sabtu besoknya.

Sepanjang Mojokerto-Madiun saya habiskan buat tidur, bangun udah sampe di kemacetan palang kereta api Saradan. Sampai di Rumah makan Duta jam 01.51 pagi. Berangkat lagi jam 02.20 WIB

Sampai di Terboyo, Semarang jam 06.00 WIB, jadi total waktu perjalanan 9 jam Surabaya Semarang via Solo. Harga tiket Rp110.000,- (termasuk makan di rumah makan).

Handoyo Semarang Malang

Tiba di Terminal Terboyo sekitar pukul 18.30 WIB, langsung mencari dimana parkir bus Handoyo. Sebenarnya untuk menuju Malang dari Terboyo ada pilihan lain yaitu naik Bus Semarang Surabaya dulu yang melewati Pantura. Dilanjutkan ganti bus Surabaya-Malang, pilihian kedua naik Bus jurusan Semarang-Solo-Surabaya dulu, ganti bis lagi di Purabaya. Pilihan yang lain yaitu langsung naik Bus Jurusan Semarang – Malang tanpa ganti-ganti bus. Karena bawaan saya banyak, paling cocok adalah pilihan yang terakhir.
Setelah ketemu penjual tiketnya, langsung beli tiket Rp110.000,- tujuan Malang, ternyata bus dijadwalkan berangkat pukul 19.00, berarti masih setengah jam buat menunggu.

Disitu cuman ada satu bus Handoyo yang parkir dengan mesin masih dimatikan. Namun menjelang jam 7 malam, kernet memulai menyalakan mesin, penumpang mulai dipersilahkan naik, hujan sudah reda, sehingga memudahkan penumpang yang akan memasukkan barangnya ke dalam bagasi.

Pukul 19.00, bus berangkat, rute yang dilewati ternyata tidak langsung lewat tol, tapi lewat jalur bus Solo Semarang jaman dahulu, yaitu melalui Dr Cipto, Java Mall, baru setelah Jatingaleh masuk tol, keluar di Sukun. Sebelum masuk tol, bus berhenti di agen Java Mall dan Jatingaleh untuk menaikkan beberapa penumpang.

Bus berhenti juga di Banyumanik, Bawen, Tingkir, Sruwen, sedangkan di Terminal Boyolali bus tidak berhenti karena tidak ada penumpang yang pesan tiket. Oiya memang bus ini ga mau berhenti selain di agen bus. Bus sampai di Tirtonadi sekitar pukul 21.30 WIB (3 ½ jam perjalanan Terboyo Semarang sampai di Tirtonadi Solo).

Perjalanan dilanjutkan masih dengan sopir yang sama, menuju timur. Jalur yang dilalui sama dengan jalur EKA saat melewati Madiun. Saya tidak ingat dimana jalur Handoyo dan EKA berpisah, yang saya ingat, setelah berpisah dengan jalur bus Surabayaan, bus Handoyo melewati jalur yang lurus dan lebih sempit, dan sewaktu-waktu menemui jalan yang berlubang terkikis air hujan. Walau lubangnya tidak begitu terlihat di kegelapan, sopir sudah hapal jadi tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Bus sampai di Arjosari Malang sekitar pukul 05.00 pagi. Start minggu sore sampai tujuan Senin pagi.

Saturday, March 14, 2015

Bis di tahun 1982

Kali ini pengen membahas bis lagi, tadi saya ketemu sama artikel menarik yang saya temui di majalah Tempo Edisi 30 April 2012. Dimana disitu diceritakan mengenai salah satu alat transportasi di Indonesia, yaitu Bus. sebuah artikel yang ditulis ulang dari artile Majalah Tempo belasan tahun yang lalu, kali ini artikelnya bersumber dari artikel tanggal 3 April 1982 di Majalah Tempo. Tentu bagi para pecinta bus, hal ini menjadi sangat menarik ya, ditengah maraknya informasi bus bus terbaru. berikut adalah artikel dimaksud :


Bajing Loncat Bikin Geram
KABAR mengerikan ini terjadi pertengahan Oktober lalu. Bus langsung rute Semarang-Wonosobo dirampok. Kendaraan itu ber¬angkat dari Terminal Terboyo, Semarang. Belum begitu jauh bus melaju, enam orang masuk, dan seorang yang membawa pisau mulai merampas barang-barang penumpang. Uang dan aneka benda berharga dibawa kabur. Keenam garong itu tertangkap setelah seorang penumpang menelepon polisi.


Dulu jenis kejahatan serupa kerap terdengar. Bisa jadi hal itu berkaitan dengan buruknya infrastruktur lalu lintas. Kejahatan ini sering terjadi di bagian jalan yang rusak, jembatan yang tak terawat, atau di jalanan yang gelap pada malam hari lantaran tak ada lampu jalan. Laporan utama majalah Tempo edisi April 982 bercerita mengenai ulah para garong yang meresahkan itu.

Kisah dimulai dari Bus Yusuf sekeluarga yang bertolak dari Pulogadung menuju Pekalongan pada malam hari. Tidak ada perbincangan selain antara kondektur, suwindo, dan sopir, Asikin. Kenek, Caswan, tertidur di bagian belakang. Sampai bus berhenti di Pasar Jatibarang. Cirebon, ketika enam pemuda menyerobot naik, penumpang masih dibuai mimpi. Caswan tanpa curiga bermaksud mengutip ongkos. Tapi “Mereka mengeluarkan pisau dan golok”, tutur Caswan.

Di bawah todongan pisau, Asikin diperintahkan mematikan semua lampu dan memperlambat laju bus. Suwindo, yang mencoba mendekati pintu, dibanting dan diinjak pembajak. Mereka menguras uang setoran bus RP 80 Ribu berikut perhiasan dan uang penumpang. Kerugian pada malam 18 Maret 1982 itu ditaksir sekitar Rp 1,2 Juta.

Kawasan Cirebon bukan satu-satunya daerah rawan pembajak di Jawa. Solo, misalnya, tidak kalah gawat. Pada Maret tahun itu saja ada enam bus kena bajak. Yang paling mengagetkan penduduk Solo adalah perampokan bus Hasti, karena dilakukan pada siang bolong, sepekan sebelum peristiwa Cirebon.

Kejahatan serupa sudah bertahun-0tahun menimpa penumpang bus lintas Sumatera, di daerah rawan ada Sumatera Selatan, yaitu Kabupaten Lahat, Lubuk Linggau, dan Baturaja. “Hampir setiap hari terjadi perampokan,” ujar absirwan Abbas, Kepala Perwakilan Perusahaan Bus Ubani.

Ketakutan tak hanya menghinggapi penumpang, tapi juga para sopir jarak antara Lahat di Sumatera Selatan dan Kotabumi Lampung Utara sekitar 200 kilometer jalanan rusak berat, apalagi pada musim hujan. Kendaraan yang lewat terpaksa melaju pelan sekali. Kesempatan itu digunakan perampok untuk naik ke atap bus dan memeretli barang-barang. Karena inilah mereka disebut bajing loncat.

Pengalaman mengerikan dialami bus ALS pada Januari 1981 dalam perjalanan dari Medan ke Tanjungkarang. Di suatu hutan lebat di Kabupaten Lahat, tiba-tiba bus oleng. Ternyata kedua ban belakangnya bocor tertusuk benda tajam. Ketika sopir dan kenek turun memperbaiki, datang sekitar 10 laki-lali bersenjata parang mengelilingi bus. Anas Lubis, kondektur, yang memegang uang, meloncat keluar dari bus dan lari masuk hutan.

Rampok di Sumatera Selatan tidak pilih buku. Tak hanya bus, truk pun jadi korban. Untuk mengatasi kejahatan itu, berbagai usaha dilakukan. Sopir dan kenek melengkapi diri dengan parang. Barang-barang milik penumpang di atap atau kap mobil dikawal seorang kenek bersenjata.

Agar lebih awas, pihak bus menembah kaca spion. Mereka juga mencopot tangga di belakang bus untuk menyulitkan orang naik ke kap. Tapi penjahat tidak hilang akal. Mereka bersembunyi di jembatan atau pohon untuk melompat ke tumpukan barang di atap. Absinan Abbas dari Perusahaan Bus Ubani menyebutkan cara lain untuk menghindari bajjing loncat adalah dengan berkonvoi sekitar enam bus. Tapi, “Ada juga yang kena. Biasanya bus paling belakang,” katanya.

Belakangan aksi para rampok itu bikin geram Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Sudomo. Dia pun mengumumkan akan menurunkan pasukan tempur dan memerintahkan semua pelaksana khusus daerah mengatasi pembajakan. “Mereka sudah keterlaluan,” ujar Sudomo. Dia lalu membentuk killers squat., semacam pasukan istimewa.
Tempo, 3 April 1982